Selasa, 11 Januari 2011

Agama dan Kebebasan: Dapatkah Bersanding-berdamping?

Oleh Malja Abror

Kang Husein menyimpulkan bahwa (keyakinan) agama adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketaatan dan ketundukan total kepada-Nya; keyakinan akan adanya balasan dan pertanggungjawaban di hari akhir. Karena itu, agama (al-din) bersifat sangat personal dan tersembunyi. Maka terhadap agama dengan pengertian seperti ini, tidak ada kekuasaan apa pun, baik itu institusi atau orang, yang bisa melakukan intervensi atasnya.
Selama tiga hari, 17, 18, dan 19 Maret 2008, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahun ke-7. Serangkaian acara digelar dalam rangka ulang tahun kali ini. Ada workshop jaringan kampus, diskusi, pemutaran film, bazar buku, dan ditutup oleh pentas kebebasan. 20 orang aktivis civil society dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, pun ikut menyemarakkan ulang tahun JIL kali ini. Mereka yang tergabung dalam Southt East Asian Muslim Network itu hadir di Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka study visit selama 10 hari.

Untuk ulang tahun kali ini, JIL mengusung tema besar, “Memantapkan Landasan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.” Karena itu, diskusi yang digelar selama dua hari pun fokus berbicara soal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di hari pertama, 17 Maret 2008, diskusi mengambil tema turunan, “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Perspektif Agama-agama.” Hadir tiga narasumber: KH. Husein Muhammad, Franz Magnis Suseno, dan Martin Lukito Sinaga. Diskusi dipandu Syafiq Hasyim.

Romo Magnis yang mewakili perspektif Katolik, memulai presentasinya dengan pertanyaan apakah benar kebebasan itu bisa bersanding dengan agama? Bukankah kebebasan bertolak belakang dengan agama? Menjawab pertanyaan tersebut, Magnis mengatakan, “Kebebasan justru berhubungan erat dengan agama. Sebab agama yang tidak menghormati kebebasan, berada dalam bahaya tidak menghormati Tuhan yang mau disembah dan ditaati. Paksaan selalu mengkorupsi sikap inti keagamaan.”

Magnis menambahkan, “Kebebasan beragama adalah inti keagamaan itu sendiri. Maka kalau kita memeriksa teks-teks kitab suci agama-agama, kita akan menemukan bahwa kebebasan beragama bukanlah sesuatu yang modern. Kami berdasarkan Perjanjian Baru bisa dengan mudah menunjuk bahwa pendiri agama kami menghormati kebebasan beragama.""Kebebasan beragama”, lanjut Magnis, “bukan kompromi agama-agama dengan modernitas, tetapi adalah sesuatu yang muncul dari keseriusan keberagamaan itu sendiri.”

Selanjutnya Magnis menjelaskan bahwa kebebasan beragama maksudnya bukanlah bebas terhadap Tuhan. “Kebebasan beragama berarti bahwa tidak ada manusia, apalagi negara, termasuk Menteri Agama, yang berhak menuntut ketaatan mutlak dari umat,”tegas Romo berambut putih ini. Menurut Magnis, kalau terhadap Allah, manusia tidak bebas. Allah mutlak harus ditaati, dan apa yang betul-betul disadari dari Allah mesti juga betul-betul di sadari dalam hati. “Jadi terhadap Allah, tidak ada kebebasan,”kata Magnis. Menegaskan kalimat terakhirnya, Magnis menambahkan, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada terhadap manusia.”“Dan inilah dasar kebebasan beragama,”pungkasnya.

Berbicara mewakili perspektif Protestan, sambil merujuk Martin Luther, Martin L. Sinaga menyatakan bahwa kebebasan beragama harus mulai, bahkan semata-mata bertolak, dari kebebasan batin; dari jiwa yang dalam kegembiraannya tidak lagi hidup dalam kungkungan agama dan hukum agama. Masih merujuk pada sumber yang sama, Martin menambahkan bahwa ada sebentuk inner liberty dalam diri manusia. Dan dalam kebebasan demikian, manusia hanya mau berdiri di bawah satu otoritas, yaitu Sabda Allah.

Landasan teoretis dan idealnya seperti itu. Tapi Martin pada diskusi malam itu tidak ingin terpaku pada aspek yang ideal dari kebebasan saja. Ia ingin bergerak ke aspek yang belum disinggung oleh Romo Magnis, yaitu aspek yang riil. Dalam konteks Eropa abad ke-15/16, konsep kebebasan beragama sebagai sebentuk inner liberty yang berasaskan pada Sabda, tidak memadai lagi atau sudah terbentur oleh kenaifannya sendiri. Maka Calvin di Geneva (Swiss) mengusulkan gagasan tentang sovereignty in it’s own sphere: bahwa gereja Katolik dan Protestan bisa hidup dalam hormat akan independensinya masing-masing di bawah negara yang legitim dan berdaulat. Tawaran Calvin inilah yang selanjutnya menjadi ilham bagi gagasan religious liberty di Eropa.

Martin mengakui bahwa kebebasan beragama dalam konteks Protestan”dan sesungguhnya dalam konteks agama-agama yang lainnya juga”dipahami secara ambigu. Di satu sisi, kebebasan beragama adalah sebentuk inner liberty, karenanya bersifat internal. Tapi di sisi lain, kebebasan beragama juga menuntut dimensi lain, yaitu dimensi ke-risalah-an (misionarisme); kehendak untuk menyiarkan Injil baik di ranah personal maupun publik. Dari sinilah awal mula munculnya gesekan dengan kebebasan beragama dari agama lain yang juga menuntut hal yang sama.

Dalam konteks Indonesia di mana umat Kristen minoritas, hal itu memunculkan suatu kerepotan tersendiri. Diusahakanlah solusi utuk menjawab kerepotan itu. Maka pada tahun 1950 dibentuklah DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dan juga Parkindo (Partai Kristen Indonesia). DGI diniatkan untuk menjaga “ke-umat-an”, sedangkan Parkindo ditujukan agar kepentingan konstitusional kebebasan umat Kristiani dapat diperjuangkan di tingkatan politik.

Modus solusi tersebut ternyata tidak sepenuhnya berhasil untuk menghindarkan benturan-benturan terhadap kekristenan dalam konteks Indonesia. Langkah selanjutnya, diikhtiarkanlah sebuah gerak menerobos, yakni pempribumian gereja dan karyanya di bumi Nusantara. Dengan ini diniatkan bahwa Injil tidak lagi menyangkut pengalih-agamaan ke dalam kekristenan, namun pada ikhtiar menjadi saksi pengharapan sosial dan terlibat aktif dalam membangun ruang-ruang kebebasan bersama.

Kang Husein, mewakili perspektif Islam, mengaku setuju dengan apa yang dikatakan Romo Magnis. Secara berkelakar, Kang Husein memberi alasan persetujuannya dengan Romo Magnis, “Saya ini orang NU, dan Katolik itu sama dengan NU: sama-sama masih menghormati para pastor dan kiai.”“Oleh karena itu,”lanjut Kang Husein, “Apa yang dibawa oleh Nabi Muhamad dalam Islam tidak ada yang baru sebenarnya. Nabi Muhamad hanya menggenapi bagian yang kurang saja dari pendahulunya, Yahudi dan Kristen.”“Nabi bersabda: wa ana hadzihi al-labinah (dan saya, Muhamad, adalah penggenap bagian satu batu bata yang kurang itu),”kata Kang Husein.

Selanjutnya Kang Husein lebih banyak mengeksplorasi tentang perbedaan antara al-din dan al-syari’ah. Bagi Kang Husein, pembedaan antara keduanya sangat penting, sebab pencampuradukan antara keduanyalah awal dari timbulnya kekerasan berbasis agama yang menodai kebebasan beragama. Untuk konteks Indonesia, Kang Husein menunjuk contoh tentang tuntutan penerapan Perda-perda Syariâah di beberapa tempat. Menurut Kang Husein, hal itu karena adanya kerancuan dalam memahami al-din dan al-syari’ah.

Kang Husein melihat bahwa antara al-din dan al-syariâah harus ada pembedaan secara clear dan distinctive. Dengan merujuk pada pendapat ahli tafsir klasik terkemuka, Qatadah, Kang Husein mendefinisikan al-din sebagai kepercayaan kepada otoritas Maha Tunggal. Kang Husein juga mengkutipkan definisi al-din menurut al-Syihristani, pengarang kitab al-Milal wa al-Nihal, yaitu “ketaatan dan ketundukan (al-thaâah wa al-inqiyad), pembalasan (al-jazaâ), dan pertanggungjawaban pada hari akhir (al-hisab yaum al-maâad).

Dari dua kutipan itu, Kang Husein menyimpulkan bahwa (keyakinan) agama adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketaatan dan ketundukan total kepada-Nya; keyakinan akan adanya balasan dan pertanggungjawaban di hari akhir. Karena itu, menurut Kang Husein, agama (al-din) dalam pengertian seperti ini bersifat sangat personal dan tersembunyi. Hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang tahu. Maka terhadap agama dengan pengertian seperti ini, tidak ada kekuasaan apa pun, baik itu institusi atau orang, yang bisa melakukan intervensi atasnya. Untuk memberikan landasan kitab sucinya, Kang Husein mengutip ayat la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan sama sekali dalam beragama), dari surah al-Baqarah ayat 256.

Sementara al-syariâah adalah ekspresi keyakinan agama yang merupakan jalan atau cara setiap pemeluk agama dalam mengabdikan diri kepada Otoritas Tunggal dan Absolut tersebut. “Karena itu,”lanjut Kang Husein, “syariat itu berbeda-beda.”Untuk hal ini, Kang Husein mengutipkan pendapat Ibn Jarir al-Thabari, al-din wahid wa al-syariâtu mukhtalifah (agama itu tunggal, syariatlah yang plural). “Al-Qurân sendiri juga mengisyaratkan hal yang sama,”tambah Kang Husein, sambil mengutip ayat: likullin jaâlna minkum syirâtan wa minhaja.

Keberagaman jalan ekspresi ini justru kebajikan Tuhan agar makhluk-Nya leluasa dalam mendekati-Nya. Dan juga agar menjadi ajang kontestasi untuk saling menggapai al-khairat, kebaikan-kebaikan. “Fastabiq al-khairat,”pungkas Kang Husein sambil merujuk kepada kitab suci. Dan perlombaan dalam menggapai kebajikan itulah yang mestinya ditunjukkan oleh tiap-tiap umat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar