Rabu, 05 Mei 2010

pendidikan

Pendidikan Untuk Semua
Pendidikan untuk semua. Itu adalah kata yang tepat untuk mewakili pendapat kami bahwa pendidikan adalah hak kami sebagai warga Negara.

Pada bulan April dunia selalu memperingati kesepakatan EFA (Education For All) alias pendidikan untuk semua. Di saat itu, selama sepekan akan dilangsungkan apa yang disebut sebagai Week of Action, alias Sepekan Aksi pendidikan yang diadakan serentak diseluruh dunia dengan tujuan untuk mengingatkan pemerintah negara-negara bahwa target pencapaian EFA semakin dekat, yaitu tahun 2015. EFA adalah sebuah kesepakatan tingkat dunia yang dibuat pada tahun 1990 di Jomtien, Thailand dan diperkuat di Dakar, Senegal, Afrika pada tahun 2000. Di dalam kesepakatan yang ditanda tangani oleh lebih dari 100 negara di dunia termasuk Indonesia itu, ada 6 (enam) buah target pendidikan yang harus dicapai pada tahun 2015.

Keenam target itu adalah sebagai berikut :
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini.
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua.
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa.
4. Meningkatnya mutu pendidikan.
5. Meningkatkan 50% orang dewasa yang melek huruf, khususnya perempuan.
6. Meningkatnya mutu pendidikan.

Kini hanya 5 tahun menjelang target tersebut harus dipenuhi, kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari milik semua, malahan cenderung menjadi eksklusif. Terbukti dari tulisan seorang sarjana UI, jurusan sosiologi yang bernama Fajri Siregar tentang sekolah internasional dan tulisan Dewi Setyarini yang menggambarkan dunia pendidikan kita ini terbagi menjadi sebuah kategorisasi ranking. Sistem pendidikan, selain melakukan pengkotak-kotakan, ternyata juga disisi lain melakukan penyeragaman buta yang dapat kita lihat dalam
tulisan Bambang Wisudo, dimana rejim testing mencoba melakukan standarisasi pendidikan terhadap karakter bangsa yang begitu beragam.

2.2 Pemerintah Melakukan Standarisasi
Untuk membuat memenuhi target EFA, pemerintah pun melakukan standarisasi-standarisasi,yaitu :
- standarisasi pendidik dan tenaga kependidikan
- standarisasi proses
- standarisasi sarana dan prasarana
- standarisasi pembiayaan
- standar penilaian pendidikan
- standar kompetisi kelulusan
- standar isi

Sudahkan Pemerintah Benar Dalam Menggalakkan Sistem Pendidikan Di Indonesia?
Pertanyaan yang menurut saya juga ada difikiran kalian. Apakah pemerintah sudah benar dalam melakukan penggalakan pendidikan di Indonesia atau justru hanya mengambil jalan pintas saja? Di Indonesia, sistem pendidikan hanya melaksanakan standarisasi UAN saja. Standarisasi-standarisasi lain terutama standarisasi tenaga didik dan fasilitas sangat jauh dari kata “standar”. Apalagi untuk teman-teman kita yang berada di papua sana.

Beberapa hari yang lalu saya melakukan perdebatan guru sosiologi, saya bertanya mengapa UAN tetap dilaksanakan, padahal masih banyak sekolah di plosok-plosok negara Indonesia yang kurag terjamah tekhnologi? katanya “pemerintah melakukan peng-grade-an bagi sekolah yang tekhnologinya kurang dari sekolah-sekolah dikota”. Namun itu membuat saya berfikir, bila pemerintah melakukan peng-grade-an, apakah itu tidak termasuk pembodohan, pengkotak-kotakan, dan peminggiran bagi sekolah yang “kurang” terjamah tekhnologi. Mereka yang lulusan universitas daerah tersebuat akan cenderung lebih sulit untuk mencari pekerjaan dibandingkan dengan mereka yang lulus dari daerah perkotaan karena dianggap “lulus aja gara-gara soal grade C”. Apakah keadaan itu yang diinginkan oleh pemerintah? Apakah ini semacam pembodohan atau apa? Bagaimana pemerintah harus menepati janji mereka bahwa pendidikan adalah Hak bukan Kewajiban.

Apakah UAN itu penting ?
UAN atau yang kita kenal denga Ujian Akhir Nasional yang bisa juga disebut dengan the most enemy bagi sebagian besar kalangan pelajar. UAN sebenarnya merupakan standarisasi yang dibuat pemerintah untuk memajukan bangsa. Namun, bagaimana dengan standarisasi guru? Apakah sudah terpenuhi? Jawabanya pasti belum. Dan saat kami melakukan pertanyaan kepada para ahlinya, mereka pasti hanya akan menjawab “dalam proses, dan membutuhkan waktu”. Butuh waktu berapa lama? Apakah 10 tahun waktu yang diberikan kurang? Target kita untuk mencapai pendidikan sudah hampir Deadline. Namun apa yang sudah anda lakukan para pemerintah? Nonsense. Yang kalian lakukan hanyalah mengorbankan pendidikan demi bisnis. Saya melakukan wawancara dengan teman saya yang bersekolah di salah satu SMA swasta ternama di Jakarta, yang bernama Cornelius Hendrick. Ia baru saja melaksanakan UAN. Menurutnya UAN itu tidak penting. Alasannya karena hanya karena UAN banyak teman-temannya yang harus mengulang padahal rata-rata ujian sekolah mereka tinggi. Hanya karena kurang nol koma sekian mereka dinyatakan mengulang, apakah itu tidak termasuk dengan kekerasan terhadap mental anak? Menurut Rowan Williams seorang Uskup Agung Gereja Inggris sistem sekolahan yang dikendalikan menurut tes itu, menurutnya berbahaya karena cenderung menyingkirkan anak-anak yang gagal pada usia terlalu dini. Sistem otoriter semacam itu harusnya dibongkar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gatto, yang dikutip pada sebuah buku dari Yayasan Jurnal Perempuan, “tidak ada satu cara tunggal untuk membuat orang menjadi terdidik. Ada begitu banyak cara untuk itu, sebanyak sidik jari”

Lagi pula mengapa kita tidak memakai sistem seperti anak kuliah saja yang memakai skripsi untuk menentukan kelulusan. Dengan memakai skripsi, otomatis itu akan menambah kekreatifan siswa dan menambah kekritisan siswa daripada menggunakan UAN yang hanya mengandalkan jawaban tunggal, dan tidak memberi peserta didik alasan kenapa jawaban itu harus “a,b,c, atau d”. dan ingatkah kalian dengan pelajaran Kewarganegaraan yang mengatakan bahwa kedudukan MA diatas BNPS? Dan tahukah kalian bahwa UAN sudah diilegalkan oleh MA, lalu mengapa BNPS masih melaksanakan UAN, yang jelas-jelas sudah dilegalkan? Tidakah kita melakukan kriminalitas dengan mengerjakan UAN karena seperti telah yang disebut diatas bahwa sekarang UAN telah diilegalkan? Kita sekolah untuk menuntut ilmu, bukan untuk melakukan standarisasi. Jadi masih pantaskah kita merayakan HarDikNas tanggal 2 Mei lalu?

Sudahkah Anda Mendengarkan Suara Peserta Didik yang Terabaikan ?
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan” ( Pasal 10 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ). Tahukah anda dengan adanya pasal itu? Dengan adanya pasal itu seharusnya para pemerintah, legislatif, pendidik, bahkan praktisi pendidikan maupun para orang tua menyadari bahwa suara anak remaja seharusnya menjadi salah satu dasar dalam menentukan berbagai kebijakan pendidikan, karena merekalah yang menjadi subjek utama dari pemberlakuan suatu sistem pendidikan. Namun apa buktinya? Lagi-lagi tidak ada, saat kawan-kawan kami mendemo untuk menolak UAN, namun suara kami sama sekali tidak didengar, suara kami yang lantang hanya dianggap angin lalu saja bagi para pemerintah. Kalau begitu adanya, apa gunanya UU tersebut diberlakukan? Lebih baik dihapus saja dan kita kembali kepemerintahan yang Absolut karena kata “Demokrasi” hanya sebagai kedok dalam menutupi kebusukan sistem pemerintahan yang berlaku dinegara kita ini.

Para pemerintah dan guru-guru selalu menggembar-gemborkan bahwa sekolah adalah taman bermain. School is My Playground. Kata itu mungkin sudah tidak asing lagi bagi kalian, namun apakah benar sekolah sekarang sudah seperti taman bermain? Tidak. Itu adalah jawaban yang tepat. Bagaimana mungkin kami dapat menganggap sekolah menjadi taman bermain ketika banyaknya peraturan yang sama sekali tidak penting membuat kami layaknya dipenjara? Seperti anak lelaki tidak boleh berambut panjang, apakah itu mempengaruhi kecerdasan kami? Tidak. anak laki-laki dan perempuan tidak boleh memakai jaket saat jam pelajaran. Bagaimana kalau saat itu musim hujan dan cuaca dingin? Apa pihak sekolah membuat pengecualian untuk keadaan seperti itu? Tidak. Memakai sepatu hitam dan itu wajib. Apakah peraturan seperti itu juga mempengaruhi tingkat kecerdasan kami? Sama sekali tidak. Dan kami sama sekali tidak diperbolehkan untuk memakai aksesoris, padahal di undang-undang pun dijelaskan bahwa kami harus berkreasi, dan arti “kreasi” bisa dalam bentuk apa saja bukan selama itu positif? Dan apakah suara-suara kami yang seperti ini pernah didengar, sama sekali tidak. Dan saat kami mengeluh lelah karena kami hanya mempunyai waktu istirahat selama 24 jam dalam seminggu, dan dalam 24x6 jam kami dituntut untuk sekolah dan mengerjakan tugas dari guru-guru kami, apa para pemerintah dan para pendidik mengerti? Lagi-lagi jawabannya adalah tidak.

Sekolah Menganut Sistem Pluralisme atau Anti pluralisme ?
Pluralisme adalah kata lain dari kemajemukan. Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, agama, ras, dan adat istiadat yang berbeda. Dan kita harus menghargai itu semua. Namun sekolah dan sistem pendidikan yang selama ini diberlakukan sama sekali tidak menunjukan adanya penghargaan pluralisme tadi. Sebagai contoh, saat kita dipaksa untuk memakai seragam dan cara fikir yang sama. Namun apakah mereka sadar bahwa, kami dan juga kalian, bahkan anda memiliki keunikan diri sendiri dan kekreatifan masing-masing untuk membuat pola fikir yang berbeda. Namun apa sekolah selama ini membiarkan kalian berkreasi dalam berpakaian? Tidak. Kalian harus memakai atribut yang sama tanpa menghargai kekreatifan kalian. Dan kalian dituntut harus memiliki pendapat bahwa sekolah itu kewajiban, padahal sekolah itu HAK, bukan kewajiban. Kita tidak perlu harus bersekolah demi mendapat pendidikan. Banyak cara yang dapat ditempuh. Dan dengan sistem pendidikan yang hanya mengandalkan UAN untuk mencapai kelulusan, itu hanya pemerkosaan terhadap mental siswa. Mereka dihadapkan dengan jawaban tunggal, padahal banyak cara lain untuk menambah kekritisan para peserta didik. Lalu bagaimana dengan siswa yang sama sekli tidak berbakat dalam bidang matematika, bahasa inggris, atau pelajaran lain yang di UANkan? Padahal kita tahu bagaimana dan dimana kekreatifan kita. Apakah hanya karena 1 mata pelajaran mereka harus disingkirkan? Padahal masih banyak potensi mereka yang bisa digunakan untuk memajukan bangsa kita.



Win-Win Bukan Win-Lose
Ranking, mungkin kata itu sangat sering kalian dengar. Ya, saat pembagian rapot, entah itu bayangan atau bukan, kata itu pasti yang akan menjadi the most topic bagi kita pada hari itu. Namun sadarkah kalian bahwa dengan adanya ranking maka itu akan membahayakan mental siswa? Mungkin pengadaan ranking itu baik, namun apakah akan selamanya baik? Saat siswa sudah menjadi juara dalam artian memperoleh peringkat utama, maka akan memungkinkan siswa lain terutama siswa yang memperoleh ranking 2 untuk menjatuhkan siswa itu dengan cara apapun. Mungkin pendapat ini agak berlebihan, namun ini adalah sebuah fenomena yang nyata. Di India, saat kita memperoleh ranking, wajah kita akan terpampang di baliho-baliho sekolah masing-masing, bahkan wajah kita pun akan terpampang dikoran. Dan bila kita tidak berusaha untuk memuat wajah kita agar bisa masuk koran, maka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan terus menerus menghantui kita. Apakah itu adil? Saat yang dihargai hanyalah pendidikan formal? Saat itu juga anak-anak disana akan terus menerus berusaha mencapai puncak ranking dengan cara apapun. Apakah itu yang diinginkan pemerintah? Masih banyak cara lain untuk mencapai kemakmuran pendidikan nasional. Bukan dengan sistem Win-Lose solution, namun dengan sistem Win-Win solution, yaitu dengan cara kerja kelompok, dan terus menanamkan kepada para peserta didik bahwa kita bisa mencapai keberhasilan bersama, bukan dengan kemenangan segitiga pascal.